Kisah pilu yang perlu dikenang, kehilangan paspor dan tertinggal pesawat

King Abdul Aziz Airport, Jeddah. 
Senin, 26 Juni 2023 pukul 15.00.

Perasaanku maju-mundur mau cerita musibah yang terjadi kepadaku dua hari ini. Panik, takut dan tidak berdaya hingga akhirnya merasa bersyukur meskipun harus menanggung rasa bosan dan jenuh ini.


Jadi ceritanya, tanggal 24/6/2023 aku flight dari Kairo jam 22.50 dan tiba di King Abdul Aziz International Airport, Jeddah jam 01.10 tanggal 25/6/2023 waktu setempat.
Tidak ada halangan keamanan barang-barang bagasi dan kabin, akhirnya merasa sangat tenang karena sempat disuruh bongkar koper pas pemeriksaan di bandara Kairo karena bawa tasbih 3,5 kg yang dikira biji-bijian untuk obat-obatan sebelumnya.

Setiba di Jeddah, aku masih bahagia-bahagia saja, rumah seperti sudah tampak didepan mata karena waktu transit hanya 2 jam saja. Bahkan, aku keliling bandara ini untuk mengambil beberapa video dokumentasi dengan harapan selanjutnya bisa kembali kesini lagi dengan keadaan yang lebih baik untuk menunaikan ibadah umroh ataupun haji -amin-.

Boarding time tiba, waktu menunjukkan pukul 02.40 dan aku masih nyantai kemudian pergi buang air kecil dan wudhu di toilet terdekat. Hingga pada akhirnya aku memasuki antrian, rasa panik dan takut itu tiba. Naas sekali, pasporku hilang, tidak ada di tas pouch ku, di tas ranselku bahkan di koper kabin yang aku bawa sekalipun.
Temenku berusaha membuatku tenang, untuk kembali mengecek tempat-tempat yg aku kunjungi selama di bandara ini, dia benar-benar menungguku hingga last call boarding time tiba. 
Sampai pada akhirnya aku menyerah, aku menyuruhnya untuk segera masuk dan meninggalkanku disini. Dalam pikiranku cuma satu, bahwa ini adalah garis takdir yang sudah Allah rencanakan untukku. Maka aku ikhlas untuk ditinggal disini sendirian.

Apa yang aku lakukan selanjutnya? Tentu saja, panik, mau nangis rasanya. Tapi petugas boarding berusaha menenangkanku dengan memberi solusi. Dia memberitahu dengan pelan dan tenang, menyuruhku untuk pergi ke loket pengaduan gate untuk melakukan laporan darurat disana.

Setibanya di loket, aku diminta menunjukkan boarding pass dan mereka langsung mengklaim bahwa aku tidak akan bisa pergi dengan pesawat ini dan tidak bisa ditukar tiketnya karena pesawatnya sudah take off. Namun, orang-orang disana tidak memberikan solusi bagaimana caraku menemukan pasporku yang hilang. Satu jam bolak balik lapor ke orang yang berbeda, sama sekali tidak membuahkan hasil.

Hampir saja menyerah, namun kabar baiknya, azan subuh berkumandang. Aku bergegas pergi ke musholla terdekat untuk melaksanakan salat subuh berjama’ah agar aku bisa sedikit merasa tenang dan berdo’a untuk dimintakan jalan keluarnya. Salawat dan zikir-zikir bener-bener aku resapi, memohon ampun kepada Allah karena barangkali hal ini terjadi karena begitu banyak dosa yang kuperbuat sebelumnya. Haru, sesak dan tak tahu harus memiliki perasaan seperti apa lagi. Bahkan untuk nangis benar-benar enggak bisa karena saking paniknya.

Selepas salat, aku langsung bergegas untuk berikhtiar kembali mencari pasporku. Aku pergi menyusuri setiap gate dari ujung ke ujung. Kemudian di gate yang paling ujung, aku ditanya oleh petugas gate terdekat, kamu kenapa? Kamu sedang mencari apa? Kemudian aku ceritakan kronologinya dan dia menyuruhku untuk pergi menggunakan kereta ke jawazat (imigrasi) setempat untuk mengurus kehilangan paspor. 
Aku semakin panik, handphoneku tidak terhubung wifi sejak awal landing disini, tidak tahu bagaimana harus menghubungi temen atau keluarga. Disini aku benar-benar cuma komunikasi sama Gusti Allah buat dimintakan jalan keluarnya. 

Setelah itu, aku pergi dari tempat kereta bandara karena enggak yakin jika pergi ke imigrasi akan membuahkan hasil, bahkan bisa jadi semakin repot nantinya. Sampai pada akhirnya aku diarahkan petugas untuk pergi ke tempat pemeriksaan barang-barang para penumpang yang transit. Disana, aku lapor kembali, menjelaskan dengan detail kronologi musibahku. Lalu petugas disana meminta boarding passku dan mengecek status pesawat yang aku naiki sebelumnya. Bersyukur, pesawatku masih sedang parkir di gate yang sama. Akhirnya, petugas disana membawaku kedepan gate itu untuk menunggunya. Tak lama kemudian, dia menemukan pasporku yang tertinggal di pesawat itu.
Haru bercampur bahagia, sangat bersyukur karena ‘nyawa’ku serasa telah kembali. 

Kemudian, aku diarahkan olehnya untuk menghadap petugas di tempat tadi untuk mengecek tiket penerbangan ke Indonesia terdekat. Setelah dicek, dia bilang tidak ada penerbangan Indonesia terdekat kecuali dalam dua hari mendatang. Itupun harganya mencapai 3.800 riyal. Bagaimana tidak kaget, aku bahkan tidak membawa uang cash pound Mesir, rupiah, apalagi riyal ataupun dollar sepeserpun. Karena pikirku, dengan transit 2 jam yang begitu singkat, aku tidak perlu membeli makan ataupun minuman karena sudah diberi di pesawat sebelumnya. Naasnya, aku pun tidak memiliki kartu atm yang bisa digunakan. Kartu atm BCAku sudah lama terblokir, sedangkan kartu atm Banque Misrku sudah habis saldonya, uang beasiswa 2 bulan aku ambil semuanya untuk membeli oleh-oleh.

Setelah itu, aku bertanya kepada petugas tersebut. Mohon maaf, apakah kamu bisa memberikan hotspot agar aku bisa menghubungi keluarga atau teman-temanku? Kemudian ia menjawabnya dengan mengarahkanku untuk pergi ke Starbucks. Katanya, disana ada fasilitas wifi gratis meskipun tanpa membeli. Mendengar kabar itu, aku sedikit merasa lega kemudian langsung bergegas mencari kedai Starbucks itu.

Terimakasih Starbucks King Abdul Aziz
Airport, Jeddah. Tanpamu, aku mati kabar.

Disini, aku menghubungi teman-temanku di Mesir terlebih dahulu. Karena waktu setempat menunjukkan pukul 05.20, aku harus chatt teman seangkatanku satu persatu, memastikan siapa yang ‘masih hidup’ di jam segitu. Sepuluh menit berlalu, satupun tak kunjung membalas pesanku. Akhirnya, kuputuskan untuk menelpon Zhilal karena aku anggap dia yang banyak mengerti masalah penerbangan dan bisa untuk diminta bantuan. Zhilal mengangkat telpon dengan suara serak karena masih bangun tidur. Untuk membuatnya bergegas bangun, aku menelpon dengan nada panik dalam menceritakan kronologi musibahku, wkwkwk. 

Kemudian, aku menyuruhnya untuk pergi ke kamar Ifkar agar bisa berdiskusi dengannya untuk mencarikan solusi. Meskipun memang, solusi satu-satunya adalah membeli tiket penerbangan baru di jadwal yang terdekat. 
Akhirnya, Ifkar menghubungi rekan-rekan bisnisnya, menanyakan terkait jadwal penerbangan terdekat apa yang harganya ‘bersahabat’ dari bandara Jeddah ke bandara Jakarta itu. 
Satu persatu jadwal penerbangan terdekat dicek. Naasnya, tidak ada satupun yang harganya dibawah 20 juta rupiah untuk penerbangan JED-CGK tanggal 25/6/2023 kemarin. Kemudian aku memintanya untuk mengecek tanggal selanjutnya, 26/6/2023. Dia memberikan screenshoot 3 jadwal penerbangan berbeda dengan maskapai yang sama.

Meski jadwal terbang dari bandara Jeddah berbeda
jauh, tapi jadwal tiba di bandara Jakarta sama,
pukul 13.20 tanggal 27/6/203.

Disini, aku diberi pilihan oleh Zhilal dan Ifkar. Apakah aku memilih lama menunggu di bandara Jeddah atau memilih lama transit di bandara Muskat, Oman. Zhilal memberi pertimbangan, bahwa jika kamu memilih lama di Jeddah, kamu akan kelaparan. Tapi jika memilih lama di Oman, selama transit disana juga kamu akan kelaparan.
Akhirnya, aku berpikir sejenak sebelum memberitahu keluargaku. Kemudian, aku memutuskan untuk lebih lama menunggu di Jeddah, karena disini sudah tahu dimana tempat wifi gratis, dimana tempat tidur yang nyaman dan disini lebih berpotensi untuk bertemu Masisir ataupun orang Indonesia secara umum. Setelah itu, aku meminta mereka untuk menunggu kabar dariku selanjutnya. Karena aku ingin menghubungi keluargaku terlebih dahulu. Terimakasih kalian, karena rela aku ganggu waktu istirahatnya. 🥹

Bingung, ragu dan takut, begitulah perasaanku ketika hendak mengabari keluargaku. Bingung siapakah yang harus ditelpon, ragu dan takut untuk menelpon karena pasti akan mengganggu seluruh keluargaku yang sedang sibuk menghandle acara akhirussanah Yayasan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk menelpon pamanku, Mang Toyyib. Bagiku, beliau yang paling tenang menghadapi situasi darurat. Beliau pula yang sering membantuku jika sedang dalam masalah ataupun terkena musibah. 
Aku meminta beliau untuk pergi ke tempat sepi. Selain karena suara sound system acara yang begitu kencang, aku tidak mau keluarga yang lain mendengarnya secara bersamaan. Kemudian, aku menceritakan semua kronologi musibahku. Hingga tiba pada penjelasan solusi yang harus aku ambil, aku sangat ragu untuk mengatakannya.

Kemudian, selesai sudah drama pagi di hari Minggu. Aku akhirnya membeli tiket pesawat Jeddah-Muskat-Jakarta itu. Kemudian aku pergi ke musholla untuk beristirahat, karena sejak terbang dari Kairo aku sama sekali belum tidur. 
Kemudian aku terbangun jam sebelas siang, tidurku tidak nyenyak karena ruangan musholla full AC dan perutku sudah mulai lapar. Untungnya, petugas di gate pengaduan memberiku sekotak kecil nasi dan ayam, jus apel, air botol kecil, satu roti kecil dan sedikit sayur-sayuran pagi sebelumnya. Aku makan semuanya, kemudian setelah itu salat jama’ zuhur dan ashar. Kemudian setelah itu aku tidur kembali hingga menjelang maghrib. 

Setelah salat jama’ maghrib dan isya, aku murojaah, melanjutkan nderesanku pada surah Al-Maidah. Seperti malaikat tiba, pada saat aku melantunkan halaman akhir surah Al-Maidah, tepat pada ayat :
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِّأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِّنكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ
Aku bergumam dalam hati (krenteg) : “YaAllah, kulo boten gadah nopo-nopo ngangge dahar atau minum, kulo nyuwun bantuan njenengan, YaAllah”.
Tepat saat aku menyelesaikan surah Al-Maidah dan ingin melanjutkan surah Al-An’am, seseorang yang tidak asing wajahnya menghampiriku. “Tadz, orang Indonesia, ya? Antum Masisir bukan?”. Seketika aku ingin menangis, baru saja beberapa detik, Allah menjawab do’aku. 

Aku langsung menyauti dan menjelaskan kronologi musibahku kepadanya. Dia tertegun, merasa iba dan sangat bersimpati kepadaku. Aku lalu meminta tolong kepadanya untuk memberikanku pinjaman kartu atm untuk beli makan dan minum. Lalu kita bersama-sama pergi ke kedai Al-Baik, aku sekedar membeli burger dua seharga 15 riyal dan air mineral seharga 2 riyal untuk mengganjal perutku. Lalu setelah itu, kita pergi ke Starbucks untuk mencari wifi dan makan bersama disana.

Namanya Fawaz, kebetulan dia juga asal KPMJB (Kekeluargaan Jawa Barat di Mesir), dia orang Bandung. 

Lalu kami lanjut mengobrol, bercerita satu sama lain. Kemudian aku semakin ingat, seperti pernah bertemu sebelumnya. Aku tanya : “Tadz, antum yang setoran sama Syekh Hasan di Markaz Syekh Nabil, kan?”, tanyaku.
“Wah iya, Tadz, bener. Kok antum inget?”, jawabnya.
“Iya. Kayaknya antum pernah sekali baca ke ane pas ane disuruh nyimak”, sautku. 😁
Kemudian, kami sama-sama beristirahat di musholla sebelum dia take off  ke Indonesia. Seusai istirahat, dia mengantarku ke mesin atm terdekat untuk meminjamkan uang riyal agar kedepannya aku enggak usah bingung mau makan atau minum apa, katanya. 
Kemudian, kami pergi ke gate penerbangan ke Jakarta, mengantarnya untuk pulang ke Indonesia. Dia memakai penerbangan yang sama persis denganku sebelumnya di jam yang sama. Berkatnya, tak terasa 24 jam berlalu.
Terimakasih, Fawaz, sampai jumpa kembali di Kairo!

Waktu subuh, 26/6/2023 tiba, seusai melaksanakan salat, aku membaca wirdulatif, berharap selanjutnya selalu diberikan kemudahan. Kemudian aku tidur sejenak dan kembali terbangun pada jam 7 pagi. Kemudian aku menemui seseorang yang telah dititipi bekal makanan oleh Ifkar dari Kairo. Ternyata, disana juga ada Gus Ibom dan Ainul Yaqin, adik kelas PBNU. Antara bersyukur atau malu bertemu dengan mereka disini, mereka langsung tercengang dan kita tertawa bersama 😂
Kemudian kami berbincang-bincang terkait bagaimana kronologi musibahku. 

Sampai sebelum mereka boarding, mereka memberiku banyak bekal jajanan dan minuman yang dibawa dari Kairo. Jajanan-jajanan yang terbilang murah di Kairo, aku melihatnya seperti gumpalan emas. Bagaimana tidak, aku hanya memiliki 50 riyal saja untuk bekal selama 12 jam sebelum penerbanganku selanjutnya. 


Kemudian, aku bergegas minum air yang dibawa oleh Gus Ibom berteguk-teguk karena saking lamanya menahan haus. Dan bersyukur, air botol aquafina yang besar itu Gus Ibom berikan kepadaku. Terimakasih, Roni, Gus Ibom dan Yaqin, semoga kita bisa berjumpa di Indonesia!

Setelah itu, aku pergi ke Starbucks untuk kembali menghubungi keluarga dan temen-temen kemudian melanjutkan istirahat di musholla. Hari ini sudah bolak-balik musholla bandara - kedai Starbucks bandara sebanyak tiga kali. Wah, nampaknya aku hafal betul letak geografis bandara King Abdul Aziz Jeddah ini. 😂

Alhamdulillah, waktu menunjukkan pukul 16.30 waktu setempat, aku sudah bisa melakukan check in untuk mengambil boarding pass penerbanganku ke Muskat, Oman. 
Ini adalah langkah kaki terakhir menuju kedai Starbucks bandara Jeddah untuk mengupload kisahku yang pilu tapi perlu dikenang ini sebelum aku bertolak ke Indonesia. 
Terimakasih atas pelajaran dan pengalaman yang begitu berharga, King Abdul Aziz International Airport Jeddah! Semoga aku bisa kembali menapakkan kaki disini dalam keadaan yang lebih baik untuk melaksanakan ibadah umroh dan haji, amin! 🤲🏻

Pelajaran berharga, siapapun, agar selalu berhati-hati menjaga barang penting milik pribadi. Agar selalu ingat kepada Allah dimanapun berada dan dalam keadaan bagaimanapun, karena sebaik-baik tempat mengadu dan sebaik-baik penolong adalah Allah SWT.

See you, Oman. Berkat kejadian ini, aku akan melihat keindahan wajah negara ‘mutiara Arab’ ini. Semoga di masa depan nanti bisa travelling ke Oman, amin. 😍

Sekian kisah perjalananku, semoga menjadi pelajaran berharga juga untuk kalian semua! 🤗

Komentar

  1. Ya allah uki.. semoga lancar² selanjutnya.. passpornya diaga jg ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Walid Ahsin, Qiraat dan Imam Syathibi.

Biografi Singkat Imam Qiraah Sab'ah Beserta Perawinya