Sosok waliyullah Mbah Syathori dalam cerita Walid Ahsin Sakho Muhammad

Dari kiri : A Asyrof, Mang Nabil, A Althof, A Ayman, 
A Muhammad, A Ahda dan Mas Anas.



Tulisan ini adalah tulisan yang sangat berharga bagiku untuk hari ini, esok, lusa dan puluhan tahun yang akan datang. 

Pada malam hari keempat perjalananku menemani dan mengurus perjalanan Walid Ahsin sekeluarga selama di Mesir, kami mengalami hal yang tidak akan pernah terlupakan. Setelah salat isya berjamaah, Walid bangkit dari sajadah dan duduk di sofa. Walid kemudian bercerita tentang sosok Mbah Abdullah Syathori, kakek beliau. Dalam ceramah itu, Walid memulainya dengan menjelaskan bagaimana salat dan zikir yang dilakukan dan diistikamahkan oleh Mbah Syathori. 

Mbah Syathori adalah sosok ulama yang tidak pernah meninggalkan salat berjamaah kecuali dalam keadaan sakit. Bahkan saat kondisi hujan deras, Mbah Syathori tetap pergi ke musholla untuk mengimami jama’ah dengan pergi menggunakan cotom (topi yang biasa dipakai petani saat panen atau tandur). Mbah Syathori juga tidak pernah menggunakan piyama ataupun kaos (baju tidur atau baju santai) saat salat, beliau selalu mengenakan jubah  dan kopiah.  

Mbah Syathori sejak dalam usia paruh baya selalu mengenakan tongkat. Tongkat tersebut merupakan salah satu tanda karomah beliau. Beliau membangunkan para santri untuk salat subuh berjamaah hanya dengan menjatuhkan tongkat tersebut. Jika mungkin digambarkan, suara nyaring tongkat tersebut bak suara gemuruh geluduk yang mengagetkan. 

Sebelum melaksanakan salat, Mbah Syathori selalu bersiwak. Beliau membaca alfatihah dan surah-surah alquran dengan suara jahr, tetapi tidak begitu lantang juga tidak begitu pelan. Beliau membaca surah-surah pendek dari juz amma di setiap salatnya. Namun pada malam Jum’at, setiap salat maghrib beliau membaca surah al munafiqun dan al jumu’ah. Kemudian pada salat subuh, beliau membaca surah as sajdah dan al insan. Demikian beliau selalu istikamah menerapkannya. 

Mbah Syathori salat dengan begitu tenang, beliau khusyu’ menghadap dan berkomunikasi dengan Gusti Allah. Beliau tidak pernah terburu-buru melakukan rukun-rukun salat, dan beliau sangat memperhatikan tuma’ninah. Ketika Mbah Syathori sakit dan berhalangan untuk mengimami jamaah, Mbah Syathori memulai kembali mengimami jamaah pada salat subuh hari berikutnya. 

Pada salat maghrib dan subuh, beliau membaca do’a-do’a tambahan pada ruku’, sujud dan i’tidal. Adapun do’a tersebut adalah :

- Setelah membaca tasbih dalam ruku’ beliau membaca do’a : 

اللهم لك ركعتُ وبك آمنتُ وبك خاصمتُ، خشع لك سمعي وبصري ومخي وعظمي وما استقلت به قدمي لله رب العالمين. 

- Setelah membaca do’a i’tidal, beliau membaca do’a :

أهلَ الثناء والمجد أحقُّ ما قال العبد وكلنا لك عبد لا مانع لما أعطيتَ ولا. معطيَ لما منعتَ ولا رٓادَّ لما قضيتَ ولا ينفعُ ذا الجدِّ منك الجد. 

- Setelah membaca tasbih dalam sujud beliau membaca do’a :

اللهم لك سجدتُ وبك آمنتُ ولك أسلمتُ، سجد وجهي للذي خلقه وصوره وشق سمعه وبصره بحوله وقوته فتبارك الله أحسن الخالقين.

Jadi, beliau cukup lama dalam melakukan ruku’, i’tidal dan sujud. Hingga pada sebuah hari, salah satu santri beliau tertidur pulas saat sujud. Kemudian hingga ia bangun dari tidurnya, hidungnya memerah dan menjadi sedikit miring. 😁Kemudian, beliau juga selalu mengangkat tangan saat bangun dari tahiyat awal dan tempat-tempat yang disunnahkan untuk mengangkat tangan seperti saat bangun dari ruku’. 

Saat selesai salat, beliau selalu wirid dan melantunkan do’a. Adapun wirid beliau sebagai berikut :

أستغفر الله العظيم لي ولوالدي… الخ ٣

لا اله إلا الله وحده لا شريك له… الخ ٣

اللهم أنت السلام ومنك السلام… الخ ٣

Kemudian membaca tasbih, tahmid dan takbir sebanyak 3 kali dilanjut bacaan takbir seperti pada umumnya. 

Kemudian, pada hari Jum’at, biasanya beliau menambahkan bacaan tahlil setelah takbir sebanyak 100x. 

Saat do’a, beliau mengangkat kedua tangannya sambil saling mengelus antar kedua tangannya. Adapun do’a yang senantiasa beliau panjatkan setelah salat fardhu adalah :

اللهم إني أسألك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والسلامة من كل إثم والغنيمة من كل بر والفوز بالجنة والنجاة من النار. 

Dan do’a اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه.

Demikian sifat-sifat salat dan zikir Mbah Syathori. Yang sebenarnya, aku telah mengetahui sebelumnya melalui Babah, KH. Ar. Ibnu Ubadillah Syathori, anak bungsu dan anak laki-laki satu-satunya Mbah Syathori.

Sifat-sifat salat dan zikir Babah persis seperti Mbah Syathori, Babah selalu istikamah mengimami jama’ah santri pada salat maghrib dan subuh. Adapun ketiga salat lainnya beliau tidak mengimaminya karena bertabrakan dengan jadwal sekolah dan pesantren. Bahkan saat hujan deras sekalipun, Babah tetap berangkat dari rumah menuju musholla santri untuk berjamaah.

Babah selalu mengenakan jubah dan peci putih dan Babah juga selalu bersiwak sebelum melaksanakan salat berjamaah. Dan sifat-sifat salat dan zikir lainnya Babah, sama persis seperti sifat salat dan zikir Mbah Syathori yang telah dijelaskan oleh Walid Ahsin. 

Kemudian, do’a-do’a tambahan setelah rukun salat yang telah disebutkan di atas, aku juga masih sangat menghafalnya. Dahulu, saat aku masih duduk di bangku kelas 2 tsanawiyah, Babah mengajarkannya langsung kepada kami setelah jamaah salat subuh. Babah menuliskan doa-doa tersebut dalam sebuah kertas besar dan menempelkannya di tembok musholla. Babah mengajari kami membaca do’a tersebut dan menuntun kami untuk menghafalnya. Aku ingat betul, saat Babah menunjuk siapa santri yang sudah hafal dan ingin melantunkan do’a yang telah kami hafal bersama itu, aku spontan berani mengacungkan tangan dan melafalkannya dengan penuh yakin. Hingga akhirnya Babah sangat mengapresiasi keberanianku itu. Dari situlah, kemungkinan mengapa aku masih sangat hafal doa-doa itu meskipun aku jarang sekali membacanya saat salat. 

Ceramah selanjutnya, Walid menyampaikan perihal kebiasaan-kebiasaan baik dan bersejarah dari Mbah Syathori. Mbah Syathori adalah sosok yang ‘alim ‘allamah. Kitab-kitab Mbah Syathori tidak bermakna (pegon) dan bersih dari coretan. Dalam kitab beliau, hanya terdapat coretan catatan-catatan, nama beliau, salawat dan doa-doa saja. Terkadang, dalam kitab beliau juga terdapat uang dari sodaqoh-sodaqoh orang lain. 

Mbah Syathori adalah sosok yang memiliki mindset ‘cinta terhadap Gusti Allah dan cinta terhadap kanjeng Nabi Muhammad’. Mbah Syathori selalu muthola’ah sebelum mengajar para santri. Beliau dawuh, bahwa seorang guru harus mempersiapkan materi sebelum mengajar, meskipun telah memahaminya sebelumnya. Beliau juga dawuh bahwa ketika sedang mutholaah ataupun mengajar, hati kita harus ‘hadir’, fokus dengan materi dan mengajar dengan ikhlas dan senang hati. Karena barangkali itu merupakan jalan futuhnya ilmu kita dan murid-murid kita. 

Seperti yang kita ketahui, Mbah Syathori merupakan santri kesayangan Mbah Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Walid bercerita, bahwa dulu Mbah Syathori aktif saling berkirim surat dengan Mbah Hasyim hingga akhir hayatnya. Surat-surat tersebut berbahasa Arab. Sayangnya pada waktu itu, Walid dan keluarga lainnya kurang berinisiatif untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip surat-surat dan tulisan-tulisan berbahasa Arab Mbah Syathori itu. 

Mbah Syathori juga sosok ulama kharismatik. Dahulu, Pesantren Dar Al Tauhid memiliki sebuah balong besar tempat penampungan air yang diambil dari sungai. Air itulah yang digunakan Mbah Syathori untuk mandi dan minum. Biasanya, para santri juga mengambil air dari tempat mandi Mbah Syathori tersebut untuk berwudu dan minum. Walid bercerita, bahwa air tersebut sangat keruh. Namun tidak ada satupun santri yang memiliki efek buruk setelah meminum air tersebut. Barangkali ini merupakan salah satu karomah Mbah Syathori. 

Mbah Syathori juga merupakan sosok ulama yang bijaksana. Beliau mendidik anak, para cucu dan santri-santrinya dengan tanpa paksaan. Mengajarkan pentingnya kesadaran diri adalah salah satu cara beliau dalam mendidik. Mbah Syathori juga merupakan seorang yang tidak pernah marah. Beliau hanya menegur dan menasehati para santri yang melanggar aturan. Hal ini menjadi pelajaran yang penting bagi kita sebagai seorang pendidik, agar bisa menerapkan bagaimana arti sebuah kesabaran.  

Selain mengajar, Mbah Syathori juga senang bertani dan menggembala. Beliau memiliki banyak sawah dan ternak kambing. Para santri yang turut membantu beliau dalam mengarit rerumputan untuk ternak kambing beliau itu, kini menjadi seorang yang alim dan sukses. Salah satunya adalah Mang Sam, panggilan akrabnya. Beliau dahulu jarang mengikuti pengajian di pesantren, beliau hanya sibuk mengarit rerumputan tiap harinya. Tapi kini, berkat keberkahan Mbah Syathori, anak-anak beliau tumbuh menjadi orang-orang hebat. Ada yang menjadi seorang doktor, guru dan semua anaknya menjadi orang-orang yang sukses.

Hampir satu jam berlalu, Walid begitu antusias bercerita tentang Mbah Syathori dan kami begitu asyik mendengarnya hingga lupa waktu. Malam hari itu, santri-santri Arjawinangun di Mesir yang turut membantu perjalanan Walid selama disini, mereka memasak mie dan telur dadar untuk makan malam kami. Akhirnya, Umi dan anak-anak harus menyetop Walid yang sedang bercerita secara paksa karena mie sudah matang dari setengah jam sebelumnya. Jadi, kami makan malam dengan indomie yang ukurannya hampir setara dengan ukuran cacing 😂  

Demikianlah apa yang bisa saya tulis dari peristiwa malam hari itu, Rabu 22 November 2023. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari sedikit kisah hidup Mbah Syathori yang diceritakan oleh Walid Ahsin pada malam hari itu, serta bisa mengikuti laku lampah dan kebiasaan-kebiasaan baik Mbah Syathori, amin. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Walid Ahsin, Qiraat dan Imam Syathibi.

Kisah pilu yang perlu dikenang, kehilangan paspor dan tertinggal pesawat

Biografi Singkat Imam Qiraah Sab'ah Beserta Perawinya