Ustadz Ahmad Muttaqin, Sang Syahid; Penuntut Ilmu Hingga Akhir Hayatnya.
Tulisan ini sedikit menceritakan tentang kenangan-kenangan saya bersama almarhum Kang Ahmad Muttaqin, guru sekaligus pembimbing saya di pesantren.
Ustadz Ahmad Muttaqin, M.Pd., Kang Amad panggilan akrab para santri.
Beliau adalah santri Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun Cirebon kurang lebih sejak tahun 2002. Kemudian sejak tahun 2008, beliau mengabdikan dirinya dengan mengajar santri-santri serta menjadi pengurus pondok dan Yayasan Dar Al Tauhid hingga sekarang.
Saat kakak saya mesantren di DT sekitar tahun 2003 sampai tahun 2006, beliau adalah kakak kelas kakak saya di madrasah.
Akan tetapi, usia sekolah formal beliau jauh lebih senior daripada kakak saya. Kang Ahmad masuk pondok setelah tamat SMA, sedangkan kakak saya masuk pondok setelah tamat MI. Meski begitu, beliau dan kakak saya merupakan senior dan junior yang cukup akrab.
Tidak banyak cerita yang kakak saya sampaikan sebelum saya masuk pesantren, selain bahwa beliau adalah senior baiknya.
Kemudian saat saya masuk pondok, saya dititipkan oleh orang tua kepada pengasuh, pengurus yang menerima pendaftaran (yang kebetulan kang Ahmad juga ada disitu), dan ketua kamar.
Meski kakak saya (alumni DT) tidak ikut mengantar ke pondok, beliau menitipkan saya melalui media sosial kepada teman-teman, senior dan guru yang masih di DT termasuk Kang Ahmad.
Sekitar seminggu kemudian, kami para santri baru dikumpulkan di musholla untuk mengikuti tes mengaji guna menentukan level baca Alquran kita. Santri baru yang masih belum lancar membaca Alquran akan mengaji iqro terlebih dahulu, sedangkan santri yang sudah terbilang lancar membaca Alquran akan langsung menghafalkan fasholatan (bacaan-bacaan sholat dan doa-doa pendek) kemudian juz amma.
Saat itu, saya masih ingat betul. Kang Ahmad dan almarhum Kang Shofwan yang mengetes kami. Kami dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok akan maju dites oleh Kang Ahmad dan kelompok lainnya akan maju dites oleh Kang Shofwan.
Dan kebetulan, saya dites oleh Kang Ahmad. Saat didepan beliau, saya ditanya nama dan asal darimana. Selepas menjawab pertanyaan beliau, beliau spontan menyautnya 'Oh adiknya Fadhol ya'.
Setelah obrolan singkat itu, kemudian saya dites dan langsung dinyatakan lulus dan keesokan harinya saya langsung setoran fasholatan ke KH. Mahsun Muhammad,MA.
Beberapa minggu kemudian, kegiatan belajar mengajar madrasah dimulai. Pada zaman saya dahulu, semua santri baru langsung masuk kelas 1 Tsanawiyah.
Di kelas 1 Ts A, saya diajar oleh Pak Imam, Pak Amin, Kang Ahmad dan Kang Hamzah Zatnika yang kesemuanya adalah senior kakak saya dulu.
Kang Ahmad mengajar tajwid (kitab tuhfatul athfal) dan akhlak (kitab washoya al abai lil abna').
Yang paling saya ingat ketika belajar dengan beliau adalah ketika satu kelas diberi PR (tugas) oleh beliau untuk mencari contoh bacaan-bacaan tajwid (yang sudah kami pelajari) dalam Alquran. Pada saat tugas kami ditagih oleh beliau di kelas, tidak ada satupun yang mengerjakan PR kecuali saya. Akhirnya, semua siswa disuruh berdiri di lapangan oleh beliau kecuali saya (begitu polosnya saya waktu itu, paling enggak mau dicontek kalo ngerjain soal atau tugas hehe).
Kemudian momen yang paling saya ingat ketika belajar dengan beliau di kelas adalah ketika dua teman saya ketangkap basah oleh beliau sedang memberikan 'buku-bukuan' (buku yang biasa digunakan santri untuk komunikasi sesama lawan jenis) kepada kakak kelas di emperan musholla (yang biasanya digunakan untuk ruang kelas 3 Aliyah) selepas belajar dengan beliau.
Alhasil, seusai sholat maghrib dua teman saya dipanggil oleh beliau selaku kepala pondok bersama Kang Kholis selaku koordinator keamanan pada saat itu.
Setelah beberapa menit kemudian, saya bersama 3 teman saya yang juga buku-bukuan dengan kakak kelas selanjutnya dipanggil oleh beliau berdua ke kantor pondok (dulu terletak di kamar 2 badr bawah sekarang).
Kemudian kami berenam di interogasi oleh beliau berdua dan nyaris saja kami berenam ditajir dibotak. Untungnya, setelah kami berdiam tak berkata apa-apa sebari memasang wajah memelas ketika diinterogasi, akhirnya kami berenam tidak jadi ditajir. 😅
Hari demi hari, tak terasa akhirnya tibalah akhir tahun. Dimana semua santri baru yang telah mengkhatamkan juz amma wajib mengikuti khotmil juz amma.
Pagi setelah jamaah sholat subuh sebelum kami tampil di panggung, 24 Juni 2012 lalu, kami ditemani beliau pergi ziaroh ke makam kiruncum guna sowan terlebih dahulu kepada para masyayikh Dar Al Tauhid sebelum tampil khotmil juz amma.
Arjawinangun, 12 Juni 2012 |
Begitulah apa yang beliau ajarkan pada kami, sempatkanlah berziaroh ke makam para waliyullah atau minimal bertawasul ke waliyullah ketika hendak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dirasa sulit seperti hendak akan ujian dsb.
Singkat cerita, ketika saya duduk di bangku kelas 3 tsanawiyah semester akhir, dimana ketika saya dibingungkan oleh keadaan saat saya memiliki sertifikat lomba olimpiade PAI se Provinsi Jawa Barat dan dijanjikan oleh guru di sekolah formal bahwa dengan adanya sertifikat tersebut saya bisa masuk di sekolah SMA/MA favorit manapun, Kang Ahmad adalah satu dari beberapa guru di pesantren yang menasehati saya untuk lanjut Aliyah di DT saja.
Hingga pada akhirnya saya tidak lagi punya alasan untuk tidak lanjut di DT. Dan sampai saat ini saya selalu berfikir, entah bagaimana saya sekarang ketika dulu tidak lanjut aliyah di DT.
Selama saya duduk di bangku tsanawiyah, tiga tahun lamanya Kang Ahmad menjadi kepala pondok DT.
Tidak banyak yang saya ingat melainkan banyaknya perubahan yang terjadi di pesantren semasa kepemimpinan beliau. Mulai dari kedisiplinan makan di pondok yang mulanya hanya kos nasi hingga menjadi kos nasi lengkap dengan lauk dan wadahnya, kedisiplinan sekolah, madrasah, mengaji, sholat berjamaah dan peraturan pondok yang semakin meningkat hingga kedisiplinan antri mandi dan wudhu yang cukup berkembang karena adanya pembangunan beberapa WC baru dan pergantian kolam untuk wudhu dan nyuci menjadi lorong wudhu dengan banyaknya kran.
Singkat cerita, ketika saya masuk kelas 1 Aliyah, Kang Ahmad adalah orang yang paling mendukung sekaligus mensupport saya untuk terjun di dunia kepengurusan dan kepanitiaan di pesantren.
Saya sudah berkecimpung di kepengurusan sejak kelas 3 tsanawiyah semester akhir di bagian Seksi Jam'iyyah dan Pendidikan karena menggantikan almarhum Kang Slamet Fauzi yang wafat pada saat itu, kemudian di kelas 1 Aliyah pun saya masih tetap menjadi anggota Seksi Jam'iyyah dan Pendidikan.
Yang saya ingat, sedari Kang Ahmad masih menjadi kepala pondok hingga naik jabatan menjadi Sekretaris Yayasan Dar Al Tauhid, beliau sering membantu pengurus seksi jam'iyyah dan seksi keamanan dalam membangunkan santri untuk jamaah sholat subuh. Ya walaupun beliau agak galak ketika membangunkan para santri, tapi itu semua semata-mata agar para santri senantiasa istiqomah berjamaah, khususnya shalat subuh.
Terlebih, beliau juga sering mendampingi kami dalam menyelenggarakan acara PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) seperti isro mi'raj, maulid nabi dsb yang mana itu semua merupakan program tahunan seksi jam'iyyah. Bahkan, beliau hampir tidak pernah absen menjadi juri lomba saat acara perlombaan PHBI atau perlombaan lainnya.
Begitulah rendah hatinya beliau, meski sudah berumur dan berkarir, beliau tetap rendah hati dan begitu dekat dengan para santri.
Kemudian, beliau juga termasuk ustadz di pesantren yang sangat peduli terhadap pengembangan potensi dan skill santri. Beberapa kali beliau mendaftarkan santri di berbagai perlombaan tingkat kecamatan, kabupaten bahkan provinsi. Seperti lomba Liga Santri Nusantara (sepak bola), lomba Musabaqoh Qiroatul Kutub (MQK) serta lomba-lomba lainnya. Dan tidak jarang saya ditunjuk oleh beliau untuk mengikuti berbagai perlombaan.
Loma MQK se- Wilayah III Cirebon di Ponpes Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon tahun 2015 |
Saat saya memasuki kelas 3 Aliyah, Kang Ahmad sempet boyong dari DT untuk menggapai impiannya bisa melanjutkan studi di Perancis yang sempat tertunda sebelumnya. Seingat saya, Kang Ahmad pindah ke Bandung untuk memperdalam Bahasa Perancis dan mengikuti berbagai program persiapan untuk menunjang studi di Perancis.
Saat itu, beliau sudah diamanahi untuk mengajar ngaji Alquran. Alhasil, saya sebagai koordinator jam'iyyah sowan kepada pengasuh untuk menindaklanjuti perihal murid-murid ngaji Kang Ahmad tersebut.
Karena pada saat itu tidak mungkin mendatangkan guru ngaji baru dan guru lain sudah banyak muridnya, akhirnya sebagian murid kang Ahmad dipindahkan ke Kang Ghozali dan sebagian lainnya dipindahkan ke saya sesuai dengan arahan pengasuh.
Lagi-lagi, saya harus menerima amanah ini. Dahulu saya yang baru masuk kelas 1 Aliyah sudah diamanahi untuk mengajar ngaji juz amma sedangkan di kelas 3 Aliyah saya ditambah amanah mengajar ngaji juz amma dan Alquran.
Akan tetapi, setengah tahun kemudian Kang Ahmad kembali lagi ke DT karena beberapa alasan yang akhirnya beliau tidak melanjutkan perjalanannya untuk menempuh studi di Perancis.
Kenangan bersama beliau berikutnya yang masih melekat hingga saat ini adalah momen ketika saya beserta 4 teman saya dikumpulkan di sekretariat LKSA pesantren (ruang lantai bawah depan rumah pengasuh) untuk bertemu dengan Ketua Yayasan Dar Al Tauhid, Ning Nela Nayilah bersama beliau untuk menentukan siapakah yang akan menjadi kepala pondok tahun 2016, saat saya pertama kali duduk di bangku kelas 3 Aliyah.
Rapat penentuan Dewan Harian Pengurus PPDT tahun 2016 bersama Ketua dan Sekretaris Yayasan Dar Al Tauhid |
Saat itu, beliau bersama Ketua Yayasan seperti menaruh harapan besar kepada kami untuk melakukan perubahan-perubahan dan inovasi pada pesantren.
Kemudian, jadilah Kang Balya sebagai kepala pondok, Bang Ali sebagai wakil, Fuadi sebagai sekretaris. Sedangkan saya tetap menjadi koordinator seksi jam'iyyah dan Kang Mif tetap menjadi koordinator seksi keamanan.
Beberapa minggu kemudian, kami beserta seluruh jajaran pengurus baik putra maupun putri dilantik oleh pengasuh dengan didampingi Kang Ahmad selaku sekretaris yayasan.
Pelantikan pengurus tahun 2016-2017 |
Yang saya ingat semasa kepengurusan angkatan saya (karena hampir 85% struktur kepengurusan dipegang oleh kelas 3 Manus), Kang Ahmad juga senior lainnya selalu turut serta dalam berbagai program kerja kepengurusan maupun kegiatan santri.
Saya yakin, hal ini terjadi karena ide Kang Ahmad dalam menerapkan regenerasi kepengurusan kepada pengurus yang masih muda. Mengapa? Karena hal ini sangat meminimalisir budaya senioritas di pesantren. Mungkin santri DT zaman now tidak begitu mengalami budaya senioritas seperti zaman dahulu.
Setelah lulus Aliyah, saya lanjut di pondok untuk mengabdi dan melanjutkan hafalan Alquran saya yang belum khatam.
Singkat cerita, setelah saya mengkhatamkan Alquran bilghoib saya berkeinginan untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, santri-santri DT bahkan dzurriyah pesantren yang hendak melanjutkan studi ke Timur Tengah pasti akan dibantu oleh Kang Ahmad, mulai dari mengurus berkas, pendaftaran hingga keberangkatan menuju tes.
Saat itu, saya bersama Miftahudin banyak sekali dibantu oleh Kang Ahmad dalam mengurus pendaftaran kami ke Mesir lewat jalur Kemenag dan ke Madinah melalui rekomendasi dari Walid Ahsin dan Abah Basith. Pendaftaran beasiswa Al Azhar jalur PBNU juga kami dapat informasi dari beliau.
Saya ingat betul, hampir tiap hari saya main ke kamar Kang Ahmad untuk sekedar menanyakan sebari mengurus perihal pendaftaran saya. Saya bahkan sering sarapan, makan siang bareng dengan beliau dan sesekali makan diluar sebari nongkrong bareng.
Melalui kedekatan itu, saya tahu banyak hal dari Kang Ahmad selaku sekretaris yayasan. Banyak sekali beban amanah beliau yang harus ditanggung, banyak sekali urusan beliau yang harus diurus dan banyak sekali omongan-omongan tidak baik terhadap beliau baik dari santri maupun wali santri.
Tidak hanya itu, dalam beberapa keadaan beliau juga harus merelakan dirinya demi pesantren. Salah satunya gagal studi di Perancis tadi.
Sebelum kedekatan ini, saya juga termasuk orang yang sering tidak setuju dengan keputusan-keputusan beliau bahkan sering membicarakan beliau dengan pengurus-pengurus lainnya.
Ternyata, hampir semua keputusan Kang Ahmad itu melalui beberapa pertimbangan terlebih dahulu.
Bagaimana beliau tetap patuh terhadap pengasuh dan bagaimana beliau tetap berlaku adil kepada pengurus dan santri semuanya beliau pertimbangkan dengan baik. Seperti mengenai keputusan dalam masalah perbendaharaan, kepengurusan dsb.
Kang, andai saja saya berada dalam posisi njenengan, saya tidak akan kuat menanggung semua beban itu. Akan tetapi, njenengan melewati itu semua dengan tetap bersikap baik kepada semua orang. Dan terlebih, njenengan selalu bersikap ramah dengan senyuman khas njenengan. Kula rindu kang, pangapura kula katah salahe kaleh njenengan ðŸ˜
Setelah saya berangkat ke Mesir, Kang Ahmad adalah seorang guru yang tidak pernah berhenti memberi dan menanyakan kabar terhadap muridnya.
Berbagai kegiatan-kegiatan di pesantren yang biasanya saya urus bersama beliau, beliau selalu kirim foto-fotonya. Begitupun keputusan-keputusan pesantren juga beliau masih mempercayai saya untuk mendiskusikannya dengan beliau.
Seperti keputusan mengenai pelaksanaan khataman, imtihan dan liburan pesantren di masa pandemi, reshuffle kepemimpinan di berbagai lembaga dibawah naungan Yayasan Dar Al Tauhid pun beliau kabari kepada saya.
Bahkan beliau juga sering mengirimkan foto adik saya dalam berbagai kegiatan dan sesekali melakukan video call dengan beliau dan adik saya yang masih di pesantren.
Setiap kali beliau mengajak saya diskusi dalam berbagai keputusan pesantren, saya selalu ingat akan keinginan beliau menjadikan saya kepala pondok dua tahun berturut-turut.
Tahun pertama, ketika saya lulus Aliyah dan masa pengabdian (2017). Saat itu, beliau menawarkan saya secara langsung untuk menjadi kepala pondok bahkan beliau sempat menawarkannya dihadapan pengasuh ketika kami sedang sowan bersama.
Menyesal saat itu saya tolak keinginan beliau dan pengasuh meski emang seharusnya saya tolak karena guru ngaji saya tidak menghendaki saya menjadi kepala pondok mengingat saya dalam proses mengkhatamkan Alquran dan murojaah untuk simaan.
Kedua kalinya, beliau menawarkan saya untuk menjadi kepala pondok di tahun 2018 ketika saya sudah dinyatakan lulus tes ke Mesir.
Akan tetapi, saya kembali harus menolaknya karena saya akan boyong dan pindah pondok untuk melancarkan hafalan saya.
Meski begitu, sebelum saya boyong saya sempat berdiskusi dengan beliau dan ketua yayasan perihal siapa yang akan jadi kepala pondok.
Sungguh banyak sekali pengalaman bersama beliau dalam berorganisasi khususnya di kepengurusan pesantren. Banyak sekali pelajaran-pelajaran yang dapat saya ambil dari ketekunan beliau dalam melaksanakan amanah.
03 November 2020, adalah hari paling bahagia bagi beliau. Beliau bertemu dengan jodohnya yang begitu sayang dan perhatian kepada beliau hingga akhir hayatnya.
Mba Fita Atqia, Mba Fita adalah kakak kelas saya 3 tahun lebih senior di pondok.
Saya kenal baik dan cukup dekat dengan mba Fita. Selain karena kakak kelas, juga karena mba Fita adalah teman se geng dan sahabat karib mba Nela Izzah, kakak angkat saya haha.
Hari demi hari mereka jalani, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal bersama di Arjawinangun, Cirebon karena Kang Ahmad yang masih begitu berat meninggalkan pesantren lantaran amanahnya sebagai sekretaris yayasan dan dosen di ISIF Cirebon.
Sayangnya, akhir-akhir ini saya jarang berkomunikasi dengan Kang Ahmad, tiba-tiba mendengar kabar dari Kang Aziz bahwa beliau sedang sakit parah dan dirawat intensif di rumahnya. Menyesal juga saya tidak sempat mengabari beliau langsung. 🥺
Tapi alhamdulilah, status terakhir yang beliau buat langsung saya balas menanyakan gimana kabar beliau seraya mendoakan.
Malam itu (pukul 23.18 waktu Kairo), saya bingung mau balas apa lagi, karena saya pikir Kang Ahmad harus banyak istirahat terlebih di Indo jam 4 pagi.
Ternyata, status terakhir yang beliau buat adalah permintaan maaf dan pamit untuk terakhir kalinya. ðŸ˜
Sungguh tertegun dan syok bangun-bangun mendengar kabar beliau sudah wafat.
Jujur saja, baru bangun tidur saya langsung menangis. Mencari berbagai kabar melalui grup, status dan media sosial. Ternyata beliau memang benar-benar sudah pergi untuk selamanya. ðŸ˜
Kang Ahmad, saya bersaksi bahwa njenengan adalah orang baik, sholeh dan sangat ikhlas. Saya yakin njenengan wafat dalam keadaan syahid karena wafat dalam keadaan menuntut ilmu.
Saya pernah mendengar bahwa orang yang wafat di hari Selasa adalah orang alim. Mbah Maimoen Zubair pun wafat di hari Selasa.
Dikabarkan oleh temen saya, katanya ketika Kang Qodir melihat wajah beliau untuk terakhir kalinya, wajahnya bersinar dan tersenyum meneduhkan.
Bagaimana tidak, beliau adalah benar-benar orang yang طالب العلم من المهد إلى اللØد.
Di akhir hidupnya, beliau habiskan untuk mendedikasikan dan mengabdikan dirinya terhadap pesantren tercintanya, Dar Al Tauhid Arjawinangun Cirebon.
Ia datang untuk menimba ilmu, ia juga pergi dalam keadaan menimba ilmu.
"Seseorang yang keluar dalam rangka mencari ilmu, dia di jalan Allah (Sabilillah) sampai ia pulang kembali (HR. Tirmidzi)."
Maafkan muridmu yang banyak salah kang. Terimakasih atas semua pengalaman dan pelajaran dari Kang Ahmad.
Kebaikan-kebaikan Kang Ahmad terhadap Uki akan abadi bersama tulisan ini.
Selamat jalan, guruku ðŸ˜
Kairo, 3 Februari 2021
Komentar
Posting Komentar